Jakarta, asrinews.com – Wacana prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) diperbolehkan berbisnis menuai polemik. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia turut angkat bicara mengenai isu ini.
Anggota Komisi I DPR RI, Rizki Natakusumah, menyatakan dukungannya terhadap kebijakan yang memperbolehkan prajurit TNI untuk berbisnis. Rizki mengungkapkan bahwa kesejahteraan prajurit TNI, terutama mereka yang bertugas di daerah pelosok, sangat memprihatinkan.
“Prajurit TNI memiliki keluarga yang harus dihidupi. Mereka memiliki anak, istri, dan keluarga yang harus dinafkahi,” ujar Rizki, dilansir dari Kompas.com.
Rizki menambahkan, bahwa DPR RI dan Pemerintah memiliki pandangan yang sama mengenai kesejahteraan prajurit TNI, terutama mereka yang bertugas di wilayah konflik dan pelosok. Menurutnya, kesejahteraan prajurit TNI masih sangat memprihatinkan.
Upaya DPR RI Meningkatkan Anggaran TNI
Selama ini, Komisi I DPR RI telah bekerja keras untuk meningkatkan anggaran TNI demi memperbaiki kesejahteraan prajurit. Namun, meskipun ada upaya peningkatan anggaran, hasilnya masih dianggap minim.
“Dengan realita seperti itu, kurang pas jika negara melarang mereka untuk berbisnis, selama tidak menyalahi aturan,” ujar Rizki.
Ia juga menekankan bahwa tidak ada masalah jika prajurit TNI berbisnis selama usaha tersebut tidak berkonflik dengan tugas utama mereka sebagai prajurit.
Sementara itu, Ketua Komisi 1 DPR RI, Meutya Hafid, tegas menyatakan penolakannya terhadap usulan untuk menghapus larangan prajurit TNI berbisnis dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang akan segera dibahas DPR bersama pemerintah.
Menurut Meutya, prajurit TNI hanya diperbolehkan untuk berbisnis dalam bentuk koperasi resmi demi kesejahteraan mereka, Namun, bisnis secara umum, terutama dalam skala besar, tetap tidak diperbolehkan.
“Kami tidak memperbolehkan prajurit TNI untuk berbisnis. Bentuk koperasi yang resmi masih dimungkinkan untuk kesejahteraan prajurit, tetapi bisnis dalam arti umum tidak diizinkan,” ujar Meutya saat dihubungi CNNIndonesia pada Selasa (16/7).
Larangan Berbisnis dalam UU TNI
Di sisi lain, larangan prajurit TNI terlibat dalam kegiatan bisnis tercantum dalam Pasal 39 UU TNI huruf c yang masih berlaku. Saat ini, TNI telah mengusulkan penghapusan pasal tersebut melalui revisi UU TNI yang tengah dibahas di DPR.
Pembahasan terkait aturan ini disampaikan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksda Kresno Buntoro, dalam acara ‘Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri’ yang diselenggarakan Kemenko Polhukam pada Kamis, 11 Juli 2024.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak memberikan tanggapannya terkait wacana ini. Menurutnya, prajurit tidak diizinkan berbisnis karena khawatir akan penyalahgunaan kekuasaan dalam aktivitas bisnis mereka.
Karena itu, lanjut dia, prajurit dapat berbisnis selama kegiatan tersebut tidak menyalahi aturan dan tidak memanfaatkan posisi atau kekuasaan mereka. Contohnya, membuka warung atau melakukan jual-beli, selama transaksinya dilakukan dengan benar dan tidak memanfaatkan kewenangan mereka di TNI.
“Prajurit bisa berbisnis, tapi dalam konteks bisnis yang jujur dan tidak menyalahgunakan kewenangan,” ujar Maruli di Markas Besar TNI Angkatan Darat, Jakarta, pada Selasa (16/7), dilansir CNNIndonesia.
Pandangan Pengamat
Kontras dengan usulan tersebut, beberapa pengamat menilai bahwa fungsi TNI sebagai komponen utama pertahanan negara berpotensi terganggu jika diperbolehkan berbisnis. Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menjelaskan bahwa keterlibatan prajurit TNI dalam bisnis bisa mengalihkan perhatian dan sumber daya dari tugas pokok mereka.
“Untuk memastikan profesionalisme, pemeliharaan kemampuan, dan efisiensi, TNI perlu fokus pada fungsinya sebagai komponen utama pertahanan,” tandas Khairul Fahmi.