Tangerang Selatan – Seorang warga Pondok Kacang Timur, Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, bernama Sartono (42), yang terlilit hutang dengan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Sada Indo Utama terkait perjanjian pinjaman dana dan persoalan legalitas internal bergulir di pengadilan. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
Kuasa hukum Sartono, Elfianus Tarigan, menyatakan bahwa perjanjian kredit antara kliennya dan Koperasi Sada Indo Utama mengandung unsur cacat hukum. Menurutnya, bunga pinjaman yang dikenakan sebesar 36 persen, padahal Peraturan Menteri Koperasi hanya membolehkan maksimal 24 persen per tahun.
“Bunga 36 persen itu bertentangan langsung dengan regulasi yang berlaku. Sayangnya, dalam pertimbangan majelis hakim, hal itu tidak menjadi fokus. Mereka justru menyebut bunga itu sah karena dihitung secara efektif,” ujar Elfianus kepada wartawan. (29/7/2025)
Elfianus menambahkan, dari pinjaman sebesar Rp150 juta yang diajukan Sartono, dana yang diterima hanya sekitar Rp101 juta. Sisanya dipotong untuk berbagai biaya seperti administrasi, provisi hingga 7 persen, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun 2022 dan 2023, serta biaya pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun setelah dilakukan pengecekan, PBB hanya dibayarkan untuk satu tahun, dan IMB tidak pernah diurus.
“Saya sudah dua kali menyurati pihak koperasi untuk membahas substansi hukum. Tapi mereka hanya menanyakan soal pembayaran cicilan, tanpa menjawab substansi perjanjian yang saya anggap cacat hukum,” katanya.
Karena tidak ada titik temu, pihaknya menggugat KSP Sada Indo Utama ke Pengadilan Negeri Tangerang. Namun, dalam sidang yang digelar Kamis pekan lalu, gugatan dinyatakan ditolak. Hakim menilai bahwa bunga efektif 36 persen masih dianggap sah, tanpa mencantumkan isi Permenkop sebagai dasar pembanding.
Potongan yang dimaksud tak hanya itu, iming-iming diawal pengajuan, pihak KSP juga menjanjikan membantu kendala-kendala calon nasabah. Yang paling mencolok yakni pihak KSP dapat memulihkan status BI checking dan diwajibkan untuk membayar Ijin Mendirikan Bangunan.
“Potongan tersebut tidak masuk akal bagi kami. Potongan itu ada rinciannya di kami. Dan saat ini, klien kami diwajibkan membayar hutang hingga kisaran 400-600 juta. Coba pikirkan, pinjamnya 101 juta, tebus jaminannya senilai 400an juta. Itu koperasi macam apa?”tanya Elfianus.
Meski gugatan di tingkat pertama telah ditolak, kuasa hukum Sartono mengaku masih membuka peluang untuk menempuh upaya hukum lanjutan seperti banding, atau bahkan pelaporan pidana jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum yang lebih serius.
“Sartono juga sempat menunggak cicilan yang besarannya mencapai Rp8,6 juta per bulan. Dari segi penghasilan, klien kami tidak layak menerima beban seberat itu. Padahal, koperasi itu tujuannya membantu, bukan menjerat anggotanya,” pungkas Elfianus.
Ditemui dikantor KSP Sada Indo Utama, Linda Manager Operasional, pihak manajemen menegaskan bahwa proses hukum telah dilalui dengan benar dan hasil gugatan telah ditolak oleh pengadilan.
“Betul, Pak Sartono adalah bagian dari anggota koperasi Sada Indo Utama. Beliau sudah menggunakan hak hukumnya, dan hasilnya gugatan ditolak oleh pengadilan. Semua proses kami jalani secara terbuka dan sesuai hukum,” ujar Linda kepada wartawan, Manajer Operasional di ruko Golden Centro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Linda menegaskan bahwa manajemen tidak pernah menghalangi atau mengintervensi proses hukum yang diajukan Sartono. Ia juga meminta agar klarifikasi lebih lanjut dilakukan langsung ke Pengadilan Negeri Tangerang sebagai lembaga yang berwenang memutuskan perkara.
“Kami menghormati proses hukum yang berlaku. Silakan cek ke pengadilan jika ingin tahu lebih rinci soal putusan tersebut,” tambahnya. (Adt)