GEBRAK Gelar Diskusi: Soroti Tantangan Gerakan Rakyat dan Rencana Aksi Jelang Satu Tahun Pemerintahan Prabowo

Jakarta, 16 September 2025 Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menggelar diskusi publik bertajuk “Tantangan Gerakan dalam Memenangkan Tuntutan Rakyat” pada Sabtu lalu di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat. Acara ini menghadirkan berbagai elemen masyarakat sipil, serikat buruh, akademisi, mahasiswa, dan figur publik yang aktif dalam gerakan sosial.

Diskusi ini menjadi ruang konsolidasi sekaligus refleksi atas dinamika gerakan rakyat pasca-kerusuhan yang terjadi pada Agustus lalu. Tercatat sekitar 50 peserta hadir dari berbagai latar belakang organisasi, termasuk GEBRAK, Koalisi 17+8, KIKA, Serikat Pekerja Kampus, BEM dari berbagai universitas, serta tokoh-tokoh publik seperti komika Sammy.

Salah satu pembicara, Erwin dari Koalisi 17+8, menyoroti meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap situasi politik yang disebutnya “tidak baik-baik saja”. Ia mengungkap bahwa sekitar 40% masyarakat kini siap turun aksi, termasuk di antaranya para figur publik yang sebelumnya apolitis.

“Sudah waktunya ada koordinasi nyata antara kekuatan media sosial dan gerakan massa di lapangan,” ujar Erwin.

Senada dengan itu, Sammy komika sekaligus influencer turut menyampaikan kritik terhadap fragmentasi dalam gerakan masyarakat sipil. Ia menilai tuntutan Koalisi 17+8 terlalu panjang dan perlu diringkas agar tidak menjadi bahan tawar-menawar politik.

“Gerakan sipil seharusnya tidak saling menjatuhkan. Jangan sampai justru menyerupai buzzer yang menggembosi tuntutan masyarakat,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa kerusuhan Agustus lalu menelan korban jiwa lebih banyak dibandingkan reformasi 1998, namun tidak memicu perubahan signifikan dari pemerintah.

Rafika dari Serikat Pekerja Kampus menyoroti dua tantangan utama gerakan rakyat saat ini: tekanan eksternal dari negara dan masalah internal seperti kurangnya koordinasi serta keragaman tuntutan. Ia menegaskan pentingnya refleksi kolektif dan mekanisme bersama agar gerakan tidak mudah dipecah.

Sementara itu, Tuti dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mendorong agar gerakan sipil tidak bersifat “lari sprint”, melainkan membangun strategi jangka panjang.

“Jangan sampai kita hanya bereaksi terhadap gejala. Kita harus menyasar akar masalah, termasuk memperjuangkan sistem politik yang lebih demokratis dan menolak gejala-gejala fasisme seperti dalam RUU TNI dan Polri,” tegasnya.

Ketua Umum KPBI, Bung Boing menyampaikan bahwa gerakan rakyat harus belajar dari spontanitas aksi pada Agustus lalu. Ia menyebut gerakan tersebut besar secara kuantitas namun belum terarah secara strategis.

“Spontanitas penting, tapi tidak bisa dibiarkan terus menerus. Kita harus mulai merumuskan dan mengonsolidasikan kekuatan agar gerakan rakyat tidak mudah disusupi,” ungkap Boing.

Ia juga menekankan pentingnya momentum politik menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo pada 1 Oktober mendatang.

“Beberapa minggu ke depan bisa jadi momen kunci. Jika organisasi dan elemen masyarakat mulai bergerak saat pemerintah dalam tekanan, bukan tidak mungkin kita meraih kemenangan-kemenangan besar,” pungkasnya.

Diskusi ini diharapkan tidak berakhir sebagai wacana semata. Para peserta sepakat untuk menyusun poin-poin tuntutan bersama yang akan disuarakan secara masif menjelang 1 Oktober 2025. Konsolidasi lintas organisasi pun akan terus digencarkan demi membangun kekuatan rakyat yang lebih terorganisir dan berkelanjutan.(Riz)